Tak bisakah engkau melihat binar mataku yang memancarkan kepedihan ini? Iya. Aku kecewa dengan keadaan. Sangat kecewa. Dan apa daya? Semuanya tak bisa lagi ku jabarkan melalui frasa atau kalimat apapun. Terkesan aneh? Memang. Tapi mau bagaimana? Kekecewaan ini sudah terlalu mendalam. Bola mata berwarna cokelat ini selalu menutupi kepedihanku selama ini. Kedua mataku sudah lelah meneteskan air mata. Hatiku yang kuat juga mungkin sudah letih dan akan menjadi lemah jika harus teriris terus.
Jujur saja, hati kecilku berharap sekali agar kamu mengetahui, mengerti, dan memperhatikannya. Apa? Kau bilang aku egois? Demi apa kau mengatakannya? Aku selalu memperhatikanmu. Tapi kau? Ah sudahlah. Mungkin penilaianmu kali ini salah. Coba koreksi. Nyatanya saja, kamu tak tahu keadaanku, tak pernah mau tahu tentangku, dan tak akan tahu bahkan mungkin sampai tulisan ini usang.
Iya. Senyum dari bibir ini memang sengaja aku sunggingkan setiap harinya. Senyum ini bisa dikatakan sebagai senjataku. Senjata untuk menutupi kepedihan dan kelaraanku selama ini sekaligus untuk membantu kedua bola mataku menutupinya. Mungkin kau selalu melihatku tertawa. Tetapi apa kau tahu? Dibalik senyum dan tawaku, aku menyimpan ratusan kesedihan. Dan sesungguhnya, aku hanya ingin kau mengetahuinya. Hanya kau. Bukan yang lain. Sesungguhnya pula, aku hanya ingin kau yang ada disampingku saat ini dengan tangan yang menggenggam jemariku dan dengan bibir yang tak akan mengucapkan selamat tinggal.
ini?
ReplyDeleteaku tau dari orang. emang kenapa ga boleh? :D
ReplyDelete