Beberapa hari terakhir, hujan turun selebat-lebatnya. Airnya mengguyur seisi kota. Membuat kuyup apa saja yang ada dibawahnya tanpa ampun. Aku duduk bersandar didinding sambil mendekap erat kedua lututku, lalu cepat-cepat merapatkan selimut. Kakiku terasa begitu dingin karena tiupan air conditioner yang tak kunjung aku matikan.
Lebatnya suara hujan menembus dinding kamar. Rindu yang tercekat ditenggorokan, nyaris membunuhku. Hujan terus meneriakkan namamu. Petir tak mau kalah, ia ikut membantu. Yang bisa kulakukan hanya diam, menutup telinga dengan kedua telapak tangan yang terasa begitu dingin.
....dinginnya ruangan ini kalah dengan dinginmu. Bedanya, ruangan ini membuat gigil, sedang sikapmu membuat dada terasa sesak.
Aku tercenung mengingat kita yang tak kunjung bicara. Sikapmu yang dingin dan susah ditebak membuat benakku semakin ribut bertanya-tanya. Mengingat kita yang berpisah hanya karena masalah sepele. Air mataku menganaksungai membasahi bulu-bulu boneka yang juga aku peluk.
Aku bergegas mematikan air conditioner dan segera membuka jendela kamar lebar-lebar. Berdiri menatap lingkungan luar. Angin dingin khas musim hujan membawa desir air hujan menyentuh pipi diam-diam. Terasa basah, namun tak terlalu. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu perih diam-diam menelusup ke dalam dada.
Hujan sudah mulai reda. Aroma petrichor yang menyengat kembali terasa. Perasaanku sedikit lebih tenang, tapi tetap saja aku belum bisa berhenti memikirkanmu.
Sepertinya aku harus mengaku. Aku.....rindu kamu. Sangat. Sangat rindu. Terasa lebih pekat, beku, dan selalu berhasil membuat candu.
Aku menutup jendela rapat-rapat. Menaiki kasur dan menarik selimut, namun kali ini tertidur. Berharap bisa melupakan semuanya.
Oh iya, aku bosan memeluk angin. Kapan aku bisa memeluk wujud nyatamu -lagi-?
Sunday, January 12, 2014
Thursday, January 9, 2014
Semoga Ini Yang Terakhir
Sudah lebih dari satu jam, aku duduk diam ditengah-tengah hamparan luas padang ilalang. Hampa, kosong. Hanya aroma rumput segar yang tercium samar-samar -seperti baru dipotong-. Lalu aku tak sengaja mengingat kamu yang telah hilang. Sekelebat bayang dirimu yang masih tergambar jelas di kepala membuatku bergeming. Aku menghembuskan nafas panjang. Pikiranku mulai mengangkasa, kemudian mataku menerawang, jauh.
Kenapa secepat ini? Kenapa? Tak bisakah kita bertahan sedikit lebih lama daripada ini?
Apa? Air darimana ini? Tidak ada hujan. Tidak mendung. Dadaku......dadaku kenapa terasa begitu sesak? Mengapa sepertinya hatiku berkecamuk? Kerongkonganku juga terasa kering. Aku....aku butuh........ Tunggu, sepertinya aku pernah merasakan hal ini sebelumnya.
Ah! Selalu begini. Air mataku sudah sampai ke pipi. Iya, ini karenamu -lagi-. Harus sampai kapan begini terus? Aku lelah. Lelah menjelajahi setiap bukit kenangan kita yang kini terasa begitu jauh, sendiri. Lelah menghapus derap langkahmu yang acapkali muncul di tengah-tengah mimpi. Lelah memikirkan segalanya yang telah usai. Lelah berpura-pura sudah menghilangkan seluruh memori; tentang kita.
Air mataku semakin deras mengalir tanpa bisa dibendung. Cengeng, memang. Entahlah, aku masih tak mengerti mengapa air mataku terlalu nakal. Selalu mendesak turun setiap otakku secara tak sengaja memutar memori masa lalu. Tidak, tidak! Aku sudah mencoba menahannya, tapi tetap saja ia selalu memaksa untuk keluar, dan sialnya ia selalu berhasil.
Semilir angin membuat pipiku terasa sejuk. Aku segera menghapus air mataku dan merapatkan jaketku. Aku ingin tangis ini menjadi tangisan tentangmu untuk yang terakhir kalinya. Aku sudah terlalu lelah. Tolong, jangan usik aku lagi.
Tak lama, aku berdiri. Menaiki sepedaku dan melesat kencang menuju rumah. Dan entah kenapa, kali ini dunia terasa lebih ramah.
Subscribe to:
Posts (Atom)