Kenapa secepat ini? Kenapa? Tak bisakah kita bertahan sedikit lebih lama daripada ini?
Apa? Air darimana ini? Tidak ada hujan. Tidak mendung. Dadaku......dadaku kenapa terasa begitu sesak? Mengapa sepertinya hatiku berkecamuk? Kerongkonganku juga terasa kering. Aku....aku butuh........ Tunggu, sepertinya aku pernah merasakan hal ini sebelumnya.
Ah! Selalu begini. Air mataku sudah sampai ke pipi. Iya, ini karenamu -lagi-. Harus sampai kapan begini terus? Aku lelah. Lelah menjelajahi setiap bukit kenangan kita yang kini terasa begitu jauh, sendiri. Lelah menghapus derap langkahmu yang acapkali muncul di tengah-tengah mimpi. Lelah memikirkan segalanya yang telah usai. Lelah berpura-pura sudah menghilangkan seluruh memori; tentang kita.
Air mataku semakin deras mengalir tanpa bisa dibendung. Cengeng, memang. Entahlah, aku masih tak mengerti mengapa air mataku terlalu nakal. Selalu mendesak turun setiap otakku secara tak sengaja memutar memori masa lalu. Tidak, tidak! Aku sudah mencoba menahannya, tapi tetap saja ia selalu memaksa untuk keluar, dan sialnya ia selalu berhasil.
Semilir angin membuat pipiku terasa sejuk. Aku segera menghapus air mataku dan merapatkan jaketku. Aku ingin tangis ini menjadi tangisan tentangmu untuk yang terakhir kalinya. Aku sudah terlalu lelah. Tolong, jangan usik aku lagi.
Tak lama, aku berdiri. Menaiki sepedaku dan melesat kencang menuju rumah. Dan entah kenapa, kali ini dunia terasa lebih ramah.
No comments:
Post a Comment