Beberapa hari terakhir, hujan turun selebat-lebatnya. Airnya mengguyur seisi kota. Membuat kuyup apa saja yang ada dibawahnya tanpa ampun. Aku duduk bersandar didinding sambil mendekap erat kedua lututku, lalu cepat-cepat merapatkan selimut. Kakiku terasa begitu dingin karena tiupan air conditioner yang tak kunjung aku matikan.
Lebatnya suara hujan menembus dinding kamar. Rindu yang tercekat ditenggorokan, nyaris membunuhku. Hujan terus meneriakkan namamu. Petir tak mau kalah, ia ikut membantu. Yang bisa kulakukan hanya diam, menutup telinga dengan kedua telapak tangan yang terasa begitu dingin.
....dinginnya ruangan ini kalah dengan dinginmu. Bedanya, ruangan ini membuat gigil, sedang sikapmu membuat dada terasa sesak.
Aku tercenung mengingat kita yang tak kunjung bicara. Sikapmu yang dingin dan susah ditebak membuat benakku semakin ribut bertanya-tanya. Mengingat kita yang berpisah hanya karena masalah sepele. Air mataku menganaksungai membasahi bulu-bulu boneka yang juga aku peluk.
Aku bergegas mematikan air conditioner dan segera membuka jendela kamar lebar-lebar. Berdiri menatap lingkungan luar. Angin dingin khas musim hujan membawa desir air hujan menyentuh pipi diam-diam. Terasa basah, namun tak terlalu. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu perih diam-diam menelusup ke dalam dada.
Hujan sudah mulai reda. Aroma petrichor yang menyengat kembali terasa. Perasaanku sedikit lebih tenang, tapi tetap saja aku belum bisa berhenti memikirkanmu.
Sepertinya aku harus mengaku. Aku.....rindu kamu. Sangat. Sangat rindu. Terasa lebih pekat, beku, dan selalu berhasil membuat candu.
Aku menutup jendela rapat-rapat. Menaiki kasur dan menarik selimut, namun kali ini tertidur. Berharap bisa melupakan semuanya.
Oh iya, aku bosan memeluk angin. Kapan aku bisa memeluk wujud nyatamu -lagi-?
No comments:
Post a Comment